Sehari di Labuan Bajo
Sehari di Labuan Bajo
Sehari di Labuan Bajo
Pemandangan matahari terbenam di Labuan Bajo menjadi salah satu yang paling mengesankan.
BERBICARA Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), orang kerap mengaitkannya dengan Pulau Komodo. Ya, wajar, karena Labuan Bajo menjadi tempat transit sebelum bertandang ke pulau tersebut.
Namun, bagaimana bila Anda tidak cukup waktu untuk menyeberang ke Pulau Komodo? Tenang, ada banyak spot lain yang menarik untuk dikunjungi di Labuan Bajo.
Cukup 10 menit dari Bandara Internasional Komodo, ada Gua Batu Cermin. Dari parkiran, kita harus membeli tiket terlebih dahulu sebelum menyusuri jalan yang lumayan teduh dengan bambu berduri di sisinya.
Dari tempat penjulan tiket, kita akan disambut pemandu lokal. Saat saya berkunjung, Juni silam, Lorense Andisat lah yang memandu saya.
Butuh jalan kaki sejauh 250 meter sebelum mencapai gua yang berketinggian 75 meter. "Bambunya jangan dipegang ya, berduri. Di sini memang tidak ada komodo, tapi ada batu mirip komodo," canda Lorense sambil menunjukkan batu alam yang bentuknya memang sepintas mirip komodo.
Menurut Lorense, kawasan Gua Batu Cermin itu ditemukan pada 1951 oleh seorang misionaris asal Belanda, Theodore Verhoven, saat melakukan penelitian. Theodore yakin kawasan seluas 19 hektare itu awalnya berada di bawah laut. "Keyakinan Theodore itu karena ia menemukan fosil karang laut, fosil penyu, dan fosil ikan dalam gua tersebut," ujarnya.
Meskipun nama gua ini Gua Batu Cermin, jangan berharap menemukan cermin yang ada di pasaran ya. Lantas, dari mana nama itu berasal?
"Sebenarnya, di atas gua ada lubang yang selalu disinari matahari. Kalau hujan, air masuk dari lubang dan mengisi gua sehingga saat sinar matahari masuk, memantulkan cahanya ke batu yang ada di dalam gua," papar Lorense menjelaskan asal usul nama Gua Batu Cermin tersebut.
Fenomena pembiasan itu, lanjut Lorense, biasanya terjadi pada siang hari, tepatnya pada pukul 12.15 Wita. Sayangnya, kalau musim kemarau, gua kering dan tidak terjadi pembiasan.
Selama perjalanan, Lorense berpesan untuk tetap waspada meskipun sudah ada jalan batu. Pasalnya, di kawasan itu masih ada hewan liar, seperti ular, monyet, dan landak. Setelah jalan kaki 250 meter, kita disambut dengan gerbang yang langsung melihat batu cadas.
Perjalanan ke pintu gua cukup mudah, tetapi sedikit menanjak karena ada beberapa titik yang agak curam dan licin. Ada juga yang membuat kita harus menunduk.
Seusai melalui jalan berliku, kami sampai di kawasan yang cukup terbuka. Di salah satu pojok ada tangga yang cukup tinggi. Tangga itu yang mengantarkan kita masuk ke gua.
Namun, jangan langsung menuju tangga. Perhatikan dinding bebatuan cadas yang ada di sampingnya. Pasalnya, terlihat jelas fosil karang laut yang ada di dinding. Bukan tempelan, tapi satu kesatuan dari batu tersebut. Fosil itu yang menjadi salah satu keyakinan dari Theodore bahwa gua tersebut awalnya berada di dalam lautan.
Ya, berikutnya ialah menapaki tangga yang lumayan curam. Di atas, menanti ruangan yang cukup besar dengan langit-langit tinggi. Dari sana, kita sudah bisa meliat stalaktit dan stalagmit yang ada sebelum kemudian memasuki gua.
Untuk menjaga keselamatan pengunjung, Lorense lantas membagikan helm dan senter yang ada di pinggir pintu gua. Sesaat sebelum masuk, ia mengingatkan pengunjung untuk berhati-hati dan mendengarkan arahannya selama di dalam. Pasalnya, kondisi dalam gua ada yang mengharuskan pengunjung untuk menunduk. Ia pun mengingatkan agar jangan pernah melepaskan helm karena ada stalaktit yang cukup rendah dan bisa melukai kepala jika terbentur.
Benar saja, baru beberapa menit masuk, kami sudah harus menunduk untuk menghindari stalaktit yang cukup besar. Sembari berjalan, Lorense menunjukkan dinding gua yang terbuat dari kristal. Begitu diberi pantulan sinar dari senter, langsung berkilau.
Setelah merangkak dan beberapa kali terbentur stalaktit yang cukup rendah, sampailah kami ke ruang tengah. Di ruang tengah ini, kami sudah bisa berdiri normal. Aliran udara pun terasa cukup lancar meski tiada lubang matahari.
Menariknya, di ruangan ini bila kita melihat ke langit-langitnya, tampak fosil kura-kura yang cukup besar. Di ruangan ini pun ada batu besar di sisi barunya yang disebut masyarakat sebagai batu berbunyi. Hanya di sisi batu itu saat diketuk akan berbunyi merdu bak siulan.
Cukup beristirahat, saatnya kembali menunduk-nunduk, menuju kawasan pantulan cahaya matahari dalam gua. Setelah berjalan singkat, kami sampai ke lorong yang memiliki langit-langit yang cukup tinggi, tapi sempit. Hanya bisa satu orang yang berjalan.
"Di sini (lorong) biasanya terisi air. Cahaya matahari akan masuk dari celah di atas dan membias ke air dan memantul ke batu-batuan yang ada di sisinya. Itu kenapa di sebut batu cermin," ujar Lorense.
Untuk kembali ke permukaan gua, kami pun kembali melalui lorong sempit tersebut. Perjuangan tidak mudah harus dilalui, kita harus menanjak sejumlah bebatuan menuju pintu keluar. Perlu ekstra hati-hati karena tidak ada pegangan di pinggir tangga yang cukup curam.
Amelia Sea View
Seusai melihat gua, saatnya menikmati panorama Labuan Bajo. Tidak perlu jauh-jauh, ada kawasan yang disebut Amelia Sea View. Sesuai rekomendasi warga lokal, kawasan dengan formasi perbukitan yang unik ini kami kunjungi sore hari, sekitar pukul 16.00 Wita, agar tidak terlalu panas. Namun, berkunjung pada pagi hari pun bisa jadi opsi jika Anda penyuka pemandangan matahari terbit.
Amelia Sea View tidak terlalu jauh dari pusat kota, bahkan hanya sekitar 5 menit dari pelabuhan Labuan Bajo. Di sini, ada sejumlah bukit-bukit kecil dan ada satu yang cukup tinggi. Dari bukit tertinggi tersebut, kita akan melihat keindahan lanskap Labuan Bajo dan kawasan di sekitarnya, bukit-bukit kecil, dan pulau-pulau kecil yang mengitari Labuan Bajo.
Tentu saja, untuk itu perlu tracking mendaki bukit. Karena sudah menjadi tempat wisata, jalur pejalan kaki pun tersedia. Hanya, cukup licin sehingga tidak perlu jalan tergesa-gesa.
Bukit Sylvia
Tidak jauh dari Amelia Sea View, kita bisa mampir dan menikmati pemandangan matahari terbenam di Bukit Sylvia. Bukit ini awalnya tidak ada namanya. Nama Sylvia diambil dari nama pemilik resor Sylvia yang ada di area tersebut.
Masyarakat di sana menyebut di bukit inilah kita bisa melihat golden sunset atau sunrise. Pasalnya, pantulan cahaya matahari yang terbenam di balik pepulauan seperti lukisan.
Benar saja, saat di sana, mata dimanjakan dengan pemandangan alam yang memadukan pulau, laut, gunung, dan guratan-guratan bias cahaya matahari yang kembali ke peraduannya.
Tidak salah bila Presiden Joko Widodo menyebut Labuan Bajo salah satu dari 10 New Bali. Dengan panorama yang indah dan menakjubkan, jangan sampai kita abai bertandang ke mutiara di Timur ini. (M-2)
Bila berkunjung ke Labuan Bajo, ada sejumlah kiat yang baik untuk disimak.
1. Pilih baju yang tidak terlalu tebal karena cuacanya lebih panas.
2. Jangan lupa minum agar tidak dehidrasi.
3. Pakai tabir surya untuk menghindari sun burn.
4. Gunakan sepatu yang nyaman untuk tracking .
5. Saat di Gua Batu Cermin, jangan lupa pakai losion antinyamuk. Losion ini biasanya diberikan petugas saat membeli tiket.
6. Tidak ada salahnya membawa jaket windbreaker karena hembusan angin cukup kencang di Bukit Sylvia.
No comments:
Note: Only a member of this blog may post a comment.